Kali ini Javamilk dan Madam meluangkan waktu untuk berkunjung ke Tana Toraja, sebuah tempat di Sulawesi yang tak terduga menjadi tujuan kunjungan wisata kami berdua di tahun ini.
Akses ke Toraja ditempuh dari Jakarta melalui Citilink tujuan Makassar. Akses Makassar-Toraja hanya dapat ditempuh melalui jalan darat. Kabarnya sih waktu tempuh sekitar 8-10 jam dan kondisi berkelok yang lumayan bikin mabok dan daripada saya mabok, dua butir antimo saya telan untuk bikin saya bangun di Toraja dalam keadaan kinclong 😀 Armada bus yang saya pilih untuk PP Makassar-Toraja berasal dari PO Primadona. Katanya sih kondisi bus dari PO ini paling bagus dan memang benar adanya. Busnya masih baru, sofa dalam kondisi direbahkan dan jarak antar kursi lebar sehingga kita ga akan terganggu sama sofa depan yang mau recline. Sayangnya, bus ini katanya sehari hanya memiliki jadwal sekali ke Toraja yaitu jam 10.00 sehingga kami agak deg-degan kalau pesawat kami yang dijadwalkan tiba Makassar jam 9.30 mengalami delay. Disarankan, untuk melakukan reservasi dahulu dari Jakarta melalui telepon namun tidak diharuskan membayar. PO Primadona juga menyediakan jemputan dari Bandara ke busnya yang terpisah dari harga tiket bus sendiri. Hari itu semua lancar, Citilink mendarat mulus, kami tidak ada bagasi sehingga sebelum jam 10.00 kami sudah tiba di Maros, tempat keberangkatan bus.
Tiba sudah malam di kota Rantepao, pusat kota Tana Toraja, kami bermalam di Luta Resort. Sebuah hotel 4 lantai TANPA LIFT **penting** jadi bisa dipertimbangkan meminta lantai rendah apabila ada koper berat. Tapi rata-rata saya lihat orang jarang membawa koper besar, bule-bule juga hanya pakai backpack. Kami pun hanya keluar untuk mencari makan yang rupanya agak suram sehingga kami berakhir dengan menu ayam bakar yang sepertinya dimasak orang Jawa. Tidak begitu banyak yang diceritakan untuk masalah kuliner di Tator ini karena kurang cocok dengan selera saya, nasinya pera, lauknya biasa, ditutupi dengan sambal Toraja yang luar biasa pedasnya. Jadi, kita fokus ke tempat wisata saja.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Sebelum kesini, saya tanya Papi.. ke Toraja mau liat apa? Dijawab singkat “Liat Kuburan” haha iya sih kalau dibaca-baca, katanya disini kita melihat sebuat kebudayaan yang sangat berbeda dengan kebudayaan yang sudah biasa saya lihat di Sumatra maupun Jawa. Keliling Toraja disarankan untuk menyewa mobil karena lokasi yang lumayan jauh dan transportasi yang belum memadai. Hari itu, mobil sewaan kami berupa Avanza dengan seorang sopir yang terlalu pendiam dan kurang bisa menjelaskan tentang objek wisata.
Terletak di pegunungan, kondisi udara sejuk sehingga AC mobil dimatikan dan jendela mobil diturunkan. Tempat wisata Toraja terbagi di bagian Utara dan Selatan. Dalam sehari, kata sang sopir tidak mungkin untuk ke utara kemudian ke selatan (entah karena alasan atau bukan). Setelah dipikir-pikir, kami memutuskan untuk menjelajah bagian Selatan saja.
Lemo
Perkuburan Batu di Dinding Bukit sudah menjadi ciri khas Toraja kalau saya lihat di liputan foto-foto berbagai media baik lokal maupun internasional. Lemo itu sendiri berarti jeruk karena tebingnya berbentuk jeruk dan lubang yang seperti pori-pori jeruk sendiri. Lokasi tebing yang langsung menatap persawahan hijau ini sungguh mempesona. Kalau istilah kekinian namanya “instagaramble” hehe
Sungguh tidak bisa membayangkan betapa besar usaha untuk membawa naik kuburan ke tebing curam ini, apalagi kalau semakin berkuasa, letak lubangnya akan semakin tinggi.
Kambira, Baby Grave
Kepercayaan lain di Tana Toraja adalah untuk bayi yang meninggal dikuburkan di dalam pohon dimana nanti arwah bayi akan tumbuh bersama pohon bersangkutan. Di Kambira sendiri tidak ada jenasah baru yang dikuburkan melainkan hanyalah peninggalan berusia ratusan tahun. Untuk zaman sekarang, peti bayi atau anak digantung dengan tali di sisi tebing gua.
Gua Londa
Selain kuburan di tebing, kuburan di dalam Gua juga merupakan daya tarik terbesar dari wisata Tator. Begitu memasuki gua, disanalah kita layaknya memasuki perkuburan terbuka dengan peti-peti mati di lantai, dinding, bahkan di langit gua. Peti mati yang sering terlihat adalah berbentuk kerbau dan kapal. Mistis .. itu yang kurasakan
Karena tidak membawa senter, pastikan anda menyalakan lampu dari handphone ya karena pintu lubang gua yang cenderung rendah dan gelap.
Kete Kesu
Kete Kesu sebenarnya adalah desa adat. Saya mengetahui Kete Kesu hanya sebatas dari foto-foto yang saya lihat tatkala orang ke Toraja dengan deskripsi singkat “Yang ada rumah toraja hadap-hadapan” 😛 sungguh ilmu wisata saya masih sangat dangkal haha ..
Sayangnya, saat kesana, masyarakat desa sedang memperbaiki tongkonan sehingga gambar foto saya tidak seindah-indah yang di iklan. Tapi lumayanlah buat tahu kalau atap tongkonan itu sebenarnya berasal dari bambu yang ditumpuk-tumpuk makanya kalau dilihat di foto saya yang di Kete Kesu, atapnya bewarna hijau karena ditumbuhi tanaman di atas atap bambu. Rata-rata tongkonan yang di jalan-jalan sekarang berasal dari seng tapi kalau di kete kesu ini masih memakai bambu.
Disini saya tambahkan miniatur rumah Toraja yang atapnya dibuat dari susunan bambu.. Nah kira-kira susunan atap rumah aslinya juga seperti ini
Selain bambu, rumah diukir dengan simbol-simbol penting masyarakat toraja beberapa simbolik yang saya suka yaitu kerbau dan matahari.
Di belakang Kete Kesu terletak kuburan juga (again) yang terletak di gua. Sepanjang jalan naik pun bisa dilihat tulang-belulang manusia dan kami tidak tertarik memasuki gua karena GELAP haha **penakut sejati**
Kerbau Satu Milyar
Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya (akhirat) jika ada banyak kerbau. Kabar tentang satu milyar sudah lama saya dengar dan sungguh, saya wajib melihat aset hidup yang satu ini. Ga kebayang status sosial orang yang menyembelih kerbau ini dan membuang satu milyar dalam sehari. (tongkonan di latar belakang foto memakai seng, rata-rata tongkonan bewarna merah sekarang memakai bahan seng)
Bori Kalimbuang
Bori Kalimbuang (lagi-lagi kuburan) adalah tujuan berikutnya. Di bagian bawah ada batuan megalitik yang besar-besar. Lagi-lagi kita harus mendaki puncak tangga untuk melihat batu besar (bukan tebing) yang dipakai menjadi lobang kuburan. Di foto sih kelihatan biasa tetapi aslinya BESARRRRRRRR
Kembali ke Makassar
Tur Tana Toraja berakhir di jam 4, kami sudah tiba di hotel sementara bus malam akan berangkat dari Rantepao sekitar jam 8-9 malam. Kami menghabiskan sore itu di lobby hotel dengan wifi gratisan, memesan kopi dan makan malam juga di hotel. Harga makanan di hotel Toraja masih terjangkau dibanding Jakarta dan kami pun malas mencoba makanan warung/restoran di pinggir jalan karena ya itu.. kurang cocok dengan selera kami.
Bus malam kami kabarnya sudah tersohor bagusnya. Bus terbaru didatangkan dari Jakarta bermerk Scania (itulho calon bus Transjakarta yang terbaru). Bayangkan duduk di Business Class tapi terletak di dalam sebuah bus. Posisi kepala kaki bisa diatur sampai posisi berbaring, kursi yang mempunyai fitur memijat (namun ga gitu berasa), colokan listrik (namun tidak berfungsi), lampu baca, bantal dan selimut membuat perjalanan kali ini sungguh nyaman (namun tetap minum antimo dua). Disarankan untuk memesan bus ini via telepon dari Jakarta karena bus cukup laris dan segera membayar setelah tiba di Toraja. Namun kalau tidak mendapatkan bus ini, bus lainnya juga nyaman. Orang tertarik mencoba bus ini karena baru dan emang sih bagus banget 😀
Pengalaman ini membawa saya ke masa kecil dimana rumah saya di Palembang, belakangnya adalah kuburan. Kuburan ini merupakan jalan pintas kalau saya mau bermain ke rumah teman saya atau ke tempat les, atau ke gereja. Jadi melintasi kuburan adalah suatu hal yang biasa saya lakukan di PAGI HARI … Ya iyalahh lu suruh gw lewatin kuburan malem hari bok? Seseorang teman saya yang saya ajak ke rumah saya via jalan kuburan itu mengajarkan untuk tidak boleh mengacungkan jari ke kuburan dan kalaupun lupa dan terlanjur kita memakai jari kita untuk menunjuk kuburan, dia akan memasukkan jari yang nunjuk ke mulut tiga kali, meludah ke tanah terus menghapus ludah tersebut dengan kaki. Ada yang menganut kepercayaan yang sama disini?
Catatan Tambahan untuk harga berwisata (dalam Rupiah):
Bus pagi Makassar – Toraja : 180 K
Bus malam Scania Toraja – Makassar : 250 K
HTM Londa, Lemo, Kambira, Kete Kesu, Bori Kalimbuang : 20 K
Sewa Mobil : 450 – 500 K
Hotel : cek Agoda utk Luta Resort, Rantepao (sekitar 500K)
Terima kasih sudah membaca madamkoo. Have a blessed weekend everyone
ini toraja isinya kebanyakan kuburan, ga bisa bawa anak2 donk yah 😀 ah… pengen nyobain busnya~
Gw juga mo komen ini pit. Hahahha..
KUburan itu objek wisatanya yah madam?
yup.. you will only see grave, grave and grave haha
kayaknya ga cocok buat anak-anak. jalan darat di bus 8 jam aja suatu pertanyaan besar klo mo bawa anak.
Cece-Jeje ga ikutan ya? Seru ya ketempat2 yang penuh nilai sejarah dan budaya.
yup bener.. biasa liat kota-kota besar skrng liat sejarah dan budaya seru
Lu beli suvenir tongkonannya gak? Bonyok gw punya tuh dulu gede yah setipi 14″ gitu kl posisi tv dibalik miring hahahahah
Jadi beneran liat kuburan doang, gw suka liat rumahnya, rumput ijo tapi ogah liat kuburan haahahah bener2 pengalaman mistis yah seru!
gw ga beli tongkonan karena ga tau mo pajang dimana. klo ga suka liat kuburan jgn kesini fel, karena isinya beneran cuma kuburan haha