Apabila perkenalan akan Korea melanda saya saat drakor merajalela, maka perkenalan dengan Jepang bisa dibilang dimulai dari saat kuliah. Jadi di akademi sekretaris saat itu disuruh memilih dua bahasa asing tambahan antara Jepang ato Perancis. Saya pun saat itu memilih Jepang karena menganggap bisa dibantu belajarnya dengan kemampuan Mandarin yang sudah saya miliki sebelumnya. Jadilah selama 3 tahun itu belajar katakana-hiragana, ohayo gozaimasu dan arigatoo. Sempet seneng ke Cultural Center yang di Sumitmas dan dengerin lagu First Love Utada Hikaru 🙂
Tahun berganti tahun ohayoo berubah menjadi Ni Hao dan kemudian menjadi Anyong Haseo. Arigatoo menjadi Xie Xie sampe Hamsa Hamida tapi kemampuan tetep ya begini-begini aja. Apabila saya bisa bertahan hidup di Taiwan bukan suatu hal yang luar biasa. Bisa di Korea juga karena ngekorin Tour Guide tetapi ke Jepang ini bisa jalan sendiri bener-bener semata karena kepintaran dan kehebatan suamiku yang ganteng, lucu dan tidak sombong itu *dilempar goban.
Asal mula memilih Jepang adalah saat terbuai Big Sale nya Air Asia. Tadinya Madam ngerayu-rayu papi untuk belinya ke Incheon tapi seperti biasa suamiku itu tidak ada napsu-napsunya sama Korea jadi daripada saya ga pergi mari terima saja yang dibeliin. Dari dulu udah sadar kalau tiket pesawat itu selalu hanyalah satu persepuluh dari komponen biaya travelling. Kenapa bisa? Ya iyalah 9 komponen lainnya menanti layaknya Jebakan Batman dan kadang kalanya lebih besar dari biaya “tiket sale” itu sendiri.
Tak pernah ada kata menyesal saat travelling. Meski tahu kalo tiket Shinkasen Tokyo-Kyoto sendiri harganya sekitar 1.2 juta per orang dan total tiket kereta subway selama 10hari perjalanan menghabiskan sekitar 1juta per kepala (harga tiket sale AA sekitar 3 jutaan tanpa tambahan bagasi ato beli seat) . Gimana? Sudah siap mental kalau ada sale tiket lagi kapan-kapan? Haha
Jepang itu sungguh indah. Perpaduan kota yang mematuhi tradisi, klasik, namun modern juga di sisi lainnya. Selama sepuluh hari ini kami menjelajahi Tokyo, Kyoto dan Osaka ditambahi selingan ke Hakone, Nara, Arashiyama dan Ikeda . Sungguh mata ini terpuaskan akan penjelajahan sudut demi sudut kota. Meskipun Tokyo Disneyland dan Universal Studio terpaksa kami coret dari daftar demi memenuhi hasrat penjelajahan tetapi seperti biasa selalu ada alasan untuk kembali, bukan?
Kereta Tokyo itu juga tidak mudah dibaca karena sudah layaknya sebuah benang kusut. Perlu disebutkan lagi kalo suamiku ganteng, pinter dan ba……… **ngumpulin cepekceng. Jadi cukup mengandalkan dirinya, aku sudah bisa keluar sudah di Ginza, Shibuya atau Shinjuku 🙂 Bagaimana tidak pusing kalau setiap interchange itu kita harus check out dan check in lagi sehingga setiap saat itu kartu subway ga bisa lepas dari tangan. Haduhh pusing
Tokyo membawa kesan yang agak berbeda dari beberapa kota yang pernah saya kunjungi. Tokyo tidak begitu gemerlap bagaikan Hongkong yang bertaburan lampu yang watt nya kencang. Tokyo kota yang sibuk dengan penduduk yang padat namun bisa bersih dan tertib. Dulu sempat khawatir ga bisa menyaingi cepatnya orang Jepang melangkah namun untunglah berkat penyiksaan oleh PT dan latihan rutin di gym, bisa membantu mengobati kegentaran hati saat liat tangga disana segini-gini 🙂
Hakone yang berjarak 100km dari Tokyo menjadi perhentian selanjutnya. Hakone menjadi tempat perhentian turis dari kesibukan kota Tokyo karena disini kami bisa melihat Gunung Fuji serta beberapa keindahan alamnya. Di Hakone ini, kami mendapatkan pengalaman untuk tinggal di Ryokan (penginapan tradisional) dengan fasilitas outdoor onsen dan full board (dinner and breakfast disediakan).
Dari Hakone, kami menuju Kyoto dengan menggunakan Shinkansen, kereta kebanggaan Jepang. Kereta-kereta berikut stasiun Jepang sungguh menakjubkan. Bahkan di kota kecil dan pelosok sekaligus sudah terintegrasi dengan baik. Stasiun sudah layaknya mal penuh dengan restoran. Fasilitasnya pun luar biasa mulai dari toilet yang terawat sampai dengan perhatian untuk kaum difabel yang luar biasa.
Hampir rata semua sarana transportasi kami coba di Jepang. Dari metro, jaringan komuter, shinkansen, bus, cable car sampai cruise bahkan alat transportasi paling jadul yaitu sepasang kaki. Hanya sayang di Arashiyama saat mau explore dengan bersepeda, tempat sewanya keburu tutup jam 17.00. Iya.. nyebelin karena tempat shopping di Jepang rata-rata tutup jam 20.00 atau kalau beruntung tutup di 20.30. Jadi jangan salahin saya kalau jam 9 malam saat mati gaya kita nongkrong di kafe meski cuma cobain matcha es krim ini 🙂
Demikian sekilas perjalanan kali ini. Untuk panduan jalan ke Jepang silakan visit ke Javamilk .. yang masih under construction. Selebihnya nanti saya bakal nulis lagi soal KULINER Jepang, TONGSIS, HAKONE, TOILET SUPER, dan edisi SILLY ME yang kocak di edisi-edisi selanjutnya.
Happy Reading Friends
Madam… transport di Jepang mah memang mengerikan. Naik taksi aja brapa duit coba pas buka pintu hihihihi…. Shinkansen kan biar mahal juga mau gak mau kudu dicobain daripada sungguh-mati-aku-jadi-penasaran hahahahahah…. Ditunggu cerita edisi selanjutnya. Beneran ditulis loh yeeee….!! *awas kalo nggaaa*
Iye iye dah gw tulis tapi kok lu belum comment
madam.. saya tunggu liputan si suami gantengnya yaaa di javamilk.. buat dibaca, dihapalin, dibayangin, didoa-in, dimimpi-in, siapa tau saya bisa kesana juga someday 🙂 🙂
Bwakakka mari bersama sama ucapkan AMINNN